Ekonomi

Kelebihan Pasokan Nikel Picu Seruan Moratorium Smelter di Indonesia

Perusahaan asal Tiongkok, Tsingshan Holding Group, yang memproduksi hampir sepertiga baja nirkarat dunia, menghentikan sejumlah lini produksi utama di fasilitas smelter nikel miliknya di Indonesia. Langkah ini menjadi sinyal paling nyata bahwa pasar nikel global tengah tertekan oleh kelebihan pasokan, anjloknya harga, dan menurunnya permintaan. Kondisi tersebut mendorong munculnya desakan mendesak untuk memberlakukan moratorium pembangunan smelter nikel baru di Indonesia.

Kondisi kelebihan pasokan nikel ini mengancam kebijakan industrialisasi hilirisasi Indonesia yang selama ini menjadi andalan, apalagi di tengah tren teknologi baterai kendaraan listrik (EV) yang mulai menggeser ketergantungan pada nikel.

Mengapa Ini Penting

Penangguhan produksi oleh Tsingshan mengungkap kerentanan mendasar dari strategi ekspor nikel Indonesia. Ini menunjukkan ketidakstabilan pasar global sekaligus menimbulkan pertanyaan besar soal keberlanjutan ambisi hilirisasi pemerintah, terutama di tengah jatuhnya harga dan perubahan teknologi baterai.

Tsingshan menghentikan sejumlah lini produksi baja nirkarat di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah, sejak Mei 2025. Fasilitas tersebut kini dalam status pemeliharaan tanpa batas waktu dan belum ada kejelasan kapan akan beroperasi kembali.

Menurut pernyataan Chen, salah satu perwakilan perusahaan, ekspor baja nirkarat kini dialihkan dari Tiongkok ke pasar lain akibat penurunan harga yang tajam baik di Tiongkok maupun Indonesia.

Kondisi Global: Pasar Jenuh, Moratorium Mengemuka

Harga spot global untuk bijih nikel turun sebesar 13,2% secara tahunan, mengindikasikan kelebihan pasokan yang terus berlanjut. Sementara itu, harga baja nirkarat di Tiongkok dan Indonesia menyentuh titik terendah dalam lima tahun terakhir pada April 2025.

Saat ini, Indonesia mengoperasikan 44 smelter nikel—jumlah yang oleh sejumlah ekonom dinilai berlebihan.

“Permintaan Tiongkok terhadap nikel olahan semakin melemah. Penurunan tajam harga spot global bijih nikel sebesar 13,2% secara tahunan menjadi sinyal bahwa kelebihan pasokan masih berlangsung,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios).

Bhima menilai kapasitas produksi Indonesia saat ini tidak sejalan dengan permintaan pasar. “Jumlah smelter kita terlalu banyak. Ada ketidakseimbangan nyata antara pasokan dan permintaan,” tambahnya.

Peringatan Pakar: Smelter Terlalu Banyak, Pembeli Terlalu Sedikit

Bhima juga menyoroti ketergantungan yang tinggi terhadap pasar Tiongkok sebagai risiko struktural.

“Selama pasar kita terlalu tergantung pada Tiongkok dan belum ada pasar ekspor alternatif yang berkembang, penyerapan nikel yang rendah ini menjadi lampu kuning,” tegas Bhima.

Ia juga mengkritik strategi hilirisasi Indonesia yang menurutnya keliru dalam mengalokasikan cadangan nikel nasional.

“Pemerintah terlalu percaya diri dengan cadangan nikel Indonesia. Tapi cadangan itu tidak digunakan untuk pengembangan baterai EV, melainkan diarahkan ke produksi baja nirkarat,” jelasnya.

Bhima turut menyalahkan perencanaan awal dan pemberian insentif fiskal.

“Perencanaan sejak awal sudah keliru. Perusahaan-perusahaan yang mendapat libur pajak dan insentif fiskal ternyata tidak memberi kontribusi berarti pada ekosistem baterai,” kata Bhima.

Perubahan Teknologi Baterai Ancaman Jangka Panjang

Bhima memperingatkan bahwa inovasi teknologi baterai dapat menggeser relevansi nikel dalam jangka panjang.

“Dulu nikel sangat penting untuk baterai. Sekarang sudah ada baterai lithium iron phosphate (LFP), dan Tiongkok bahkan mulai mengembangkan alternatif berbasis natrium. Ini ancaman serius bagi keberlangsungan strategi hilirisasi nikel kita,” pungkasnya.